
Di tanah Batak, di tepian indah Tao Silalahi, berdiri sebuah monumen yang menjadi saksi persatuan dan perjalanan panjang keturunan Raja Silahi Sabungan. Tugu ini bukan sekadar bangunan batu dan relief, melainkan simbol tekad menjaga sejarah leluhur dan menghidupkan kembali budaya yang diwariskan turun-temurun.
Awal Sebuah Perjalanan (1967–1969)
Perjalanan ini dimulai pada Desember 1967, ketika pomparan (keturunan) Raja Silahi Sabungan dari berbagai penjuru dunia berkumpul dalam Musyawarah Besar (Mubes) pertama. Dari pertemuan pada 9–12 Desember itu lahir dua keputusan penting: membentuk tim pembangunan tugu dan menyusun tarombo, silsilah agung yang menghubungkan setiap keturunan kepada sang Raja.
Setahun kemudian, Mubes kedua digelar pada 26–28 Agustus 1968. Di sana, tarombo disempurnakan dan lokasi pembangunan tugu diputuskan. Peletakan batu pertama akhirnya dilaksanakan pada 12 April 1969—sebuah awal yang disertai doa, harapan, dan semangat persatuan.
Gotong Royong Menembus Waktu (1969–1981)
Pembangunan tugu dilakukan dengan gotong royong, baik oleh mereka yang tinggal di bona pasogit maupun di perantauan. Namun, jalan ini tidak selalu mulus. Kendala demi kendala membuat pembangunan sempat terhenti. Meski begitu, komitmen untuk menuntaskannya tidak pernah padam.
Relief dan elemen artistik tugu dirancang mengikuti petunjuk spiritual. Tak jarang, hasil yang sudah jadi harus dibongkar dan diperbaiki berkali-kali hingga benar-benar mencerminkan perjalanan hidup Raja Silahi Sabungan. Proses ini bukan sekadar pekerjaan teknis, melainkan bentuk penghormatan kepada leluhur.
Peresmian yang Menggetarkan (1981)
Akhirnya, pada 23–27 November 1981, tugu diresmikan. Puncak acara berlangsung pada 24 November dengan upacara adat, alunan gondang, tarian, pesta persatuan marga, dan pembacaan tarombo. Selama lima hari penuh, suasana desa dipenuhi warna-warna tradisi dan semangat kekeluargaan.
Tugu ini dibangun dengan makna simbolik yang dalam. Di dalamnya terdapat makam yang menyimpan tulang/orbuk Raja Silahi Sabungan dan kedelapan putranya. Tiang segi delapan melambangkan delapan anak, obor di puncak menjadi simbol cahaya penuntun, sementara relief menggambarkan kisah hidup sang Raja. Warna merah, putih, dan hitam yang menghiasi tugu mencerminkan tritunggal budaya Batak.
Tradisi yang Terus Hidup
Sejak 1982, setiap November digelar Pesta Tugu atau Pesta Partangiangan dan Budaya Luhutan Bolon. Acara ini dilaksanakan secara bergilir oleh delapan marga keturunan Raja Silahi Sabungan. Ia menjadi ruang pertemuan, ajang silaturahmi, sekaligus media pelestarian adat.
Tahun 2025 menjadi momen istimewa. Pesta Budaya Luhutan Bolon Pomparan Raja Silahi Sabungan Bolahan Amak Loho Raja akan menghidupkan kembali tradisi yang sempat hilang, seperti manguras horbo dan penyerahan tali ni horbo kepada bolahan amak selanjutnya. Panitia bahkan telah melakukan prosesi manopot tulang Padang Batanghari dan Nairasaon Manurung di Sibisa, menegaskan keterikatan pada bona pasogit. Yang lebih membanggakan, seluruh Raja Turpuk kini telah bersatu mendukung pelaksanaan pesta ini.
Dampak Budaya dan Pariwisata
Pesta Budaya Luhutan Bolon tak hanya melestarikan adat, tetapi juga memperkuat identitas budaya. Banyak situs sejarah dan budaya Silahi Sabungan tetap terjaga, seperti Aek Sipaulak Hosa, Nauli Basa, Partonunan Namboru Deang Namora, Lasabunga, Batu Jonjong, dan Batu Gadap.
Kecamatan Silahi Sabungan kini menjadi magnet wisata, menarik ribuan pengunjung, termasuk turis mancanegara. Tak heran, pesta ini diusulkan menjadi agenda nasional, demi mengangkat citra budaya sekaligus menggerakkan ekonomi lokal.
Infrastruktur pun terus dikembangkan: plaza pengunjung, kios suvenir, menara pandang, galeri budaya, hingga digital valley untuk edukasi pelajar.
Silahisabungan dan Geopark Kaldera Toba
Silahi Sabungan adalah bagian penting dari Geopark Danau Toba. Wilayah ini memiliki keunikan geologi yang berasal dari letusan supervolcano sekitar 74.000 tahun lalu. Formasi batuan vulkanik menjadi bukti sejarah alam purba dan memiliki potensi sebagai geosite edukasi geologi.
Budayanya pun kaya. Dari rumah adat, ulos, dan upacara adat, hingga kisah migrasi keturunan Raja Silahi Sabungan yang berperan dalam penyebaran budaya Batak Toba, Karo, Simalungun, Pakpak, dan Mandailing.
Panorama Tao Silalahi yang memukau, perkebunan yang hijau, dan situs sejarah menjadikan Silahi Sabungan destinasi ekowisata yang menjanjikan.
Menatap ke Depan
Keberhasilan mengelola budaya dan alam hanya mungkin tercapai lewat kolaborasi: pemerintah, tokoh adat, pomparan, dan UNESCO. Pesta Budaya Luhutan Bolon 2025 diharapkan menjadi momentum besar untuk memperkuat persatuan sekaligus merevitalisasi budaya dalam bingkai Geopark Kaldera Toba.
Horas… Mejuah-juah… Njuah-juah
Rap renta pomparan Raja Silahi Sabungan
Jansen Sihaloho, S.I.Kom
Ketua Parsadaan Pomparan Raja Silahi Sabungan (PPRS) Kota Medan